Selasa, 02 Agustus 2016Oleh : Syam Rahmanto, S.IP.Staf Bagian Teknis Pemilu dan HupmasMaraknya kelahiran partai-partai Islam menjadi salah satu penanda terbukanya keran-keran kebebasan di era Reformasi. Kebangkitan politik aliran Islam menandaskan saluran aspirasi politik umat Islam tidak lagi hanya bermuara kepada PPP saja. Selain itu, dalam pembelahan aliran Islam berikutnya, tampilnya wajah baru gerakan Tarbiyah yang bertransformasi menjadi PK(S) menunjukkan performa politik Islam baru di luar basis kekuatan Islam yang telah mapan, NU dan Muhammadiyah.Terlepas dari pemilahan aliran dalam Islam, entah itu tradisional, modern maupun pembaruan, para elit politik mendirikan partai dengan asas maupun simbol Islam tentunya mengandung kalkulasi politik. Kalkulasi tersebut berangkat dari konsekuensi logis mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam yang tentunya sangat berpotensi menyalurkan suaranya pada partai yang mengindentifikasikan dirinya sebagai partai Islam. Sayangnya, realitas politik tidak selalu berbanding lurus dengan realitas sosiologis. Meskipun Islam sebagai agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia, secara politik terhitung minim. Keterangan demikianlah yang oleh sebagian ilmuwan politik dianggap sebagai “paradoks elektoral”. Mengapa demikian?Pertanyaan di atas merupakan salah satu pembahasan penting yang coba dijawab dalam buku “Masa Depan Partai Islam di Indonesia”. Buku yang diprakarsai LIPI ini merupakan sebuah refleksi dengan membaca trend yang berlalu dan coba mengurai masa depan partai Islam dari sudut pandang volatilitas elektoral. Volatilitas elektoral (VE) memfokuskan pembahasan pada pergeseran suara partai politik dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ringkasnya, buku ini mencoba menggambarkan perbandingan perolehan suara keseluruhan atau pun masing-masing partai Islam dalam setiap kontestasi pemilihan umum. Partai Islam disini merujuk pada pada partai yang secara tegas mencantumkan Islam sebagai ideologi dalam AD/ART (PAN, PPP, PBB, PKS), maupun partai yang tidak menuliskan dalam konstitusinya namun simbol dan latarbelakang berdirinya tidak terlepas dari Islam sebagai identitas yang melekat dalam diri partai (PKB).Selain perbincangan mengenai volatilitas elektoral, buku ini juga menyajikan analisis eksplanatif atas faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas suara partai-partai Islam. Di samping itu, salah pertanyaan kunci yang hendak dijawab dalam buku ini sebagaimana telah disinggung di awal tulisan adalah mengapa mayoritas Islam secara sosiologis tidak bisa dikonversi menjadi mayoritas Islam politik? Fakta partai-partai Islam masih minoritas secara politik dapat dilacak dari Empat kali Indonesia menjalani pemilihan umum pasca reformasi. Penggabungan suara dari sembilan partai Islam yang mengikuti kontestasi Pemilu tahun 1999 hanya mencapai 37,59. Pada tahun 2004, suara kumulatif partai-partai Islam hanya naik 0,95% dengan pencapaian 38,54%. Pada penyelenggaraan pemilu 2009, suara partai-partai Islam menurun drastis hanya berkisar 25,94%. Pada pemilu terakhir 2014 kemarin, suara kumulatif partai-partai Islam naik menjadi 31,39%. Kenyataan ini menunjukkan kecenderungan partai-partai Islam masih minoritas secara politik.Buku ini terbagi menjadi 7 bab. Bab pertama, “Masa Depan Partai Islam Era Reformasi: Sebuah Prespektif Analisa”, bertindak sebagai pengantar yang mengulas partai Islam dan pemilu di Indonesia dari prespektif volatilitas dari pemilu ke pemilu serta faktor-faktor pendorongnya. Dalam pengantar ini pula disebutkan alasan memilih partai Islam sebagai obyek analisis dan sistematika penulisan buku.Bab kedua, “Dinamika Partai Politik Islam di Indonesia: Prespektif Historis”. Bab ini menekankan uraian atas keberadaan partai-partai Islam dari sisi sejarah semenjak pra kemerdekaan, kemerdekaan hingga pasca reformasi.Pada ulasan lebih lanjut, bab ke tiga hingga ke enam menekankan pembahasannya pada analisis masing-masing empat partai Islam, yaitu PKB, PAN, PPP dan PKS. Pemilihan diskursus lebih mendalam atas empat partai tersebut didasarkan pada perolehan suara pada setiap pemilu pasca reformasi yang relatif masih dapat bertahan dan memiliki perwakilan di parlemen. Sedangkan partai-partai Islam lainnya banyak yang tersingkir karena tidak bisa memenuhi target parlementarry treshold (PT).Bab terakhir, yakni bab 7 berjudul “Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Sebuah Catatan Penutup”. Syamsuddin Haris sebagai penulis merangkai berbagai ulasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Terlebih dahulu dia memulai pembahasan pada relasi Islam dan politik yang tidak bisa dipisahkan dari pergulatan sejarah awal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya terkait perdebatan Islam vs Nasionalis; termarjinalkannya Islam secara politik di era otoriter Soeharto serta euforia kebangkakitan Islam mengekspresikan kebebasan melalui partai politik. Dalam catatan penutup tersebut, Syamsuddin Haris juga mengemukakan beragam faktor internal dan eksternal kegagalan elektoral partai Islam. Faktor internal meliputi : organisasi dan kelembagaan partai, polarisasi politik dan kepemimpinan, identitas dan disorientasi ideologi sehingga kehilangan daya jual, kinerja elektoral partai yang kurang optimal. Sedangkan faktor eksternal meliputi: transformasi sosio-kultural, internalisasi nilai-nilai dan simbol Islam di partai nasionalis, dan terakhir faktor struktur politik yang berlaku, seperti sistem pemilu dan kepartaian.Melacak dari pengalaman empiris partai-partai Islam dalam empat kali pemilu, menariknya, Syamsuddin Haris mensinyalir kecilnya peluang mengonversi mayoritas Islam secara sosiologis ke Islam secara politis. Akhirnya, orientasi elit politik Islam dari sekedar memenangkan pemilu harus beralih pada peningkatan kualitas kehadiran dan kontribusi partai-partai Islam bagi tumbuh kembangnya demokrasi yang lebih adil, akuntabel dan berintegritas. Sehingga, konsep pemahaman partai Islam atau bukan lebih samar dan konstituen lebih melihat sepak terjang dan kualitas partai itu sendiri. Sekali lagi terlepas dari partai Islam atau tidak. Sebab buku ini disusun oleh LIPI, bahasa yang digunakan dalam buku ini bersifat akademis dengan pertimbangan siap dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keunggulan buku ini akan mengantarkan pemahaman lebih holistik dan ilmiah daripada menerka-nerka eksistensi partai Islam dalam Pemilu yang cenderung minoritas. Gamblangnya, dengan membaca buku ini kita akan menemukan alasan-alasan rasional dan empirik mengapa partai Islam secara politik minoritas dan bagaimana prediksi partai Islam di Indonesia.Kekurangan yang mungkin mudah terungkap dari buku ini berkisar pada kurang padunya alur pembahasan partai-partai Islam dari sudut pandang faktor volatilitas elektoral dalam beberapa bab yang mengupas partai-partai secara terpisah. Kebanyakan masih mengungkap deskripsi yang lebih gemuk dalam tulisan dari pada faktor eksplanasi volatilias elektoral. Hal ini terkadang agak kurang mendukung pengantar dan penutup tulisan yang sangat luar biasa. Adalah wajar ketika mengingat penulisan buku ini dilakukan oleh banyak penulis.Terakhir, buku ini layak dibaca karena di dalamnya memuat analisis volatilitas partai-partai Islam antar pemilu yang masih minim terdapat literatur yang secara serius mengupasnya. Selain itu, beragam pendekatan-pendekatan teoritis dalam menganalisis volatilitas partai-partai Islam menjadi nilai tawar yang semakin membuat buku ini layak dipelajari. Terutama bagi kalangan elite partai Islam sebagai bahan perenungan dan juga mahasiswa dan dosen sebagai bahan kajian serta masyarakat secara umum yang memiliki ketertarikan kepada persoalan partai-partai Islam. Judul Buku : Masa Depan Partai Islam di IndonesiaEditor : Moch. NurhasimTim Penulis : Moch. Nurhasim Lili Romli Sri Nuryanti Luky Sandra Amalia Ridho Imawan Hanafi Devi Darmawan Syamsudin HarisPenerbit : Pustaka PelajarJumlah Halaman : 314Tahun Terbit : 2016Download di sini
Opini
SELAMAT JALAN PAK HUSNI
Oleh : Miftakul Rohmah, S.Ag., M.PdAnggota KPU Kabupaten Sidoarjo Kamis, 7 Juli 2016 sekitar pukul 21.00 WIB, di saat bulan Ramadhan baru saja berlalu dan umat Islam masih dalam euphoria menyambut hari kemenangan, kita dikejutkan dengan berita meninggalnya Ketua KPU RI, Bapak Husni Kamil Manik. Hari itu tentu saja akan menjadi hari yang akan selalu dikenang oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang konsen dengan demokrasi di Indonesia dan terutama keluarga besar KPU di seluruh Indonesia.Meskipun secara pribadi saya tidak begitu sering berjumpa dengan beliau, tetapi berdasarkan testimoni dari banyak orang, banyak yang menilai sosok seorang Husni Kamil Manik adalah seorang pemimpin yang bertangan dingin, santun dan tenang. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI ke-6 mengatakan, “Saya mengenal sosok almarhum, tenang, cakap memimpin, menghadapi berbagai masalah ditekan kanan kiri selalu tegar, bersikap independent, tak memihak, pandai mengambil jarak, bahkan pelihara jarak dengan pemerintah,” katanya.Sementara Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Jimly Assidiqi, mengatakan, almarhum Husni merupakan sosok pemimpin muda cemerlang, pribadi yang sangat sabar, tenang, rasional dan komunikatif dalam menyikapi setiap persoalan. Sikap itu, lanjut Jimly, membuat semua persoalan tugas berjalan lancar, setiap masalah yang dihadapi bisa ditemukan solusinya.Disisi lain, di internal KPU sendiri, baik di level KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota, para komisioner yang sudah menjabat lebih dari 2 periode merasakan betul perbedaan kepemimpinan KPU dibawah kepemimpinan Husni Kamil Manik dengan periode-periode sebelumnya. Penataan organisasi begitu gencar dilakukan, peningkatan kinerja selalu ditekankan, dan di bawah kepemimpinannya KPU menjelma menjadi Lembaga Negara yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa penghargaan pun diberikan kepada KPU. Dalam hal transparansi, misalnya, KPU menjadi lembaga yang memperoleh peringkat Nomor 2 setelah PPATK. Penghargaan yang diberikan secara langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo itu membuktikan bahwa KPU merupakan badan publik yang transparan kepada masyarakat, sekaligus sebagai mitra pemerintah yang mampu menyukseskan program-program dari kementerian/lembaga negara RI, melalui pengelolaan informasi dan dokumentasi sebagai frontliner, dan juga keberhasilan fitur-fitur KPU berbasis teknologi informasi seperti SITUNG, SITAP, SILON, SILOG dan program lain untuk mendekatkan KPU kepada masyarakat.Meskipun demikian, meninggalnya Ketua KPU RI yang begitu mendadak ini ternyata juga menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Bertebaran ciutan dan posting media sosial seputar penyebab meninggalnya Husni Kamil Manik, ada yang menduga bahwa Husni Kamil Manik sengaja di-Munirkan untuk menghilangkan jejak kecurangan dalam Pilpres Tahun 2014 lalu. Sampai-sampai politisi Golkar yang juga mantan anggota DPR RI, Ali Mochtar Ngabalin, meminta keluarga untuk mengikhlaskan jasad almarhum untuk diotopsi agar bisa diketahui apakah memang benar bahwa wafatnya almarhum memang tidak wajar. Kontroversi ini pula yang membuat Prof. Jimly Asshidiqy meminta kepada tim dokter RSPP untuk mengungkapkan ke publik penyebab pasti meninggalnya almarhum. Tentu keinginan Prof. Jimly ini didasari keinginannya agar polemik atas wafatnya almarhum segera berakhir, sampai-sampai Menkes RI, Nila Djuwita F. Moeloek harus ikut mengklarifikasi isu-isu liar seputar meninggalnya Almarhum benar-benar karena sakit “Kami sudah menerima laporannya secara lisan dari Direktur RSPP. Beliau sakit”, katanya .Terlepas adanya kontroversi di masyarakat terkait meninggalnya Husni Kamil Manik, ada beberapa tanda-tanda kematian yang dipercaya umat Islam akan kematian seseorang apakah seseorang itu meninggal dalam keadaaan suul khotimah ataukah khusnul khotimah. Diantaranya : 1). Almarhum meninggal pada malam Jumat dan di saat hari Raya Idul Fitri atau hari kemenangan bagi umat Islam setelah almarhum menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan. Bukankah salah satu sabda Nabi : ”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim) 2). Menurut salah satu saksi mata yang mendampingi beliau pada saat meninggal, mengatakan, bahwa beliau meninggal ketika beliau terlelap dalam tidur dan wajahnya terlihat begitu bahagia. Wallahua’lam bish shawab, pada akhirnya biarkanlah menjadi urusan Allah SWT. yang akan menghisab segala kebaikan dan keburukan seseorang. Selamat jalan, Pak Husni Kamil Manik. Keteladananmu dalam memimpin dan warisanmu tentang integritas dan profesionalitas selaku penyelenggara pesta demokrasi akan selalu menjadi pegangan dan pijakan kami.
Memaknai Idul Fitri
Jumat, 01 Juli 2016Oleh : Miftakul Rohmah, S.Ag., M.PdAnggota KPU Kabupaten Sidoarjo Tanpa terasa Hari Raya Idul Fitri sebentar lagi akan tiba, sudah bisa dipastikan hari raya ini di sambut dengan gembira oleh seluruh umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri ada tradisi unik, yakni tradisi untuk bersilaturahmi ke yang lebih tua atau lebih sering dikenal dengan halal bihalal, dan tradisi mudik. Setiap lebaran, umat Islam Indonesia berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya tak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkan, dan tak peduli jika harus bersusah payah berdesak-desakan, baik di bis ataupun di kereta. Lalu apakah sebenarnya makna dari Idhul Fitri itu sendiri.Para alim ulama berbeda pendapat tentang makna dari Idul Fitri. Di antara perbedaan pendapat tersebut, diantaranya, sebagian ulama berpendapat bahwa Idul Fitri berasal dari dua kata, id artinya kembali atau berulang, dinamakan id karena berulang setiap tahunnya. Sedangkan fitri berasal dari kata afthara yang artinya berbuka, atau tidak lagi berpuasa dan kembali kepada aktifitas sebelum puasa yakni makan, minum dan hal-hal lain yang tidak diperbolehkan selama bulan ramadhan. Pendapat mereka ini merujuk pada salah satu hadist yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah pergi untuk sholat Idul Fitri tanpa makan kurma sebelumnya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Ra: Tidak sekalipun Nabi Muhammad SAW pergi untuk sholat pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya, Anas juga mengatakan : Nabi Muhammad SAW makan kurma dalam jumlah ganjil. (HR Bukhari).Sebagian ulama lainnya memaknai Idul Fitri sebagai puncak/klimak dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan atau keberhasilan yang diperoleh setelah pelaksanaan ibadah puasa, atau disebut juga hari raya kemenangan karena telah berhasil melawan hawa nafsu selama sebulan penuh. Sehingga hari raya dimaknai juga sebagai kembali kepada fitrah kesucian atau keterbebasan dari segala dosa dan noda, ibarat manusia layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan kembali bersih tanpa dosa. Pendapat mereka ini berpegangan pada hadist nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan dan segala aktivitas di dalamnya menghapuskan dosa-dosa terdahulu. “Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena Allah SWT, maka di ampuni dosa-dosanya yang telah lalu, Muttafaqalayh)Meskipun terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam mendefinisikan makna Idul Fitri dengan argumentasi dan dalil masing-masing, sesungguhnya kedua-duanya sama-sama kuat tinggal ditinjau dari sudut mana memaknainya. Ketika kita memaknai secara lahiriah, sudah barang tentu dengan tibanya Idul Fitri maka menjadi bolehlah semua yang dilarang saat melaksanakan puasa, sedangkan ketika kita melihat dari sisi subtansinya, maka dengan ibadah puasa kita diharapkan mejadi pribadi yang suci dan bersih, baik ketika Idul Fitri dan sesudah Idul Fitri. Dan Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam mendefinisikan makna hari raya Idul Fitri, maka sesungguhnya kita sebagai bagian dari umat Islam haruslah mengambil ibroh/hikmah dari makna yang terkandung dari hari raya Idul Fitri tersebut, beberapa hikmah yang bisa kita petik di antaranya adalah :Pertama, Mempererat Hablul Minanash (hubungan sesama manusia), karena pada saat Idul Fitri inilah orang-orang saling bersilaturahmi dan saling memaafkan, saling melupakan permusuhan dan saling membuka lembaran baru.Kedua, Memperkokoh Keimanan, di dalam merayakan hari raya yang terpenting adalah bagaimana mencapai status Idul Fitri, yakni kembali kepada jiwa yang suci bersih. Bukan sebaliknya bagaimana cara agar dapat beridul fitri atau merayakan Idul Fitri dengan kemewahan pakaian, dengan bertumpuk kue dan makanan. Karena dengan kesadaran seperti ini maka kita dapat menaklukan hawa nafsu untuk berbuat maksiat dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang.Ketiga, Menjadikan pribadi yang istiqomah. Hendaklah kita menjadi umat yang senantiasa istiqomah taat kepada Allah. Ketaatan kita selama bulan Ramadhan, seperti ketaatan dalam sholat berjamaah, ketaataan dalam tadarus, ketaataan dalam bersodaqah, ataupun ketaatan dalam menahan hawa nafsu, harus terus dijaga dan dikawal sesudah bulan Ramadhan. Jangan sampai ketaatan kita pada Allah SWT berkurang dan hilang seiring hilangnya bulan Ramadhan.Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam pribadi-pribadi yang beruntung, yang mampu mengambil hikmah dari Idul Fitri dan mampu memaknai Idul Fitri secara benar. Pada kesempatan yang baik ini pula izinkan saya sebagai pribadi dan sebagai bagian dari keluarga besar KPU Kabupaten Sidoarjo, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H dan dengan niat tulus iklhas dari sanubari yang dalam, memohon maaf yang sedalam-dalamnya apabila dalam proses pelayanan dan pembangunan demokrasi yang kami lakukan belum bisa memuaskan semua pihak dan jauh dari kata sempurna. Mari di bulan yang penuh berkah ini kita hilangkan rasa benci, rasa dengki, rasa iri hati, rasa dendam, rasa amarah dan kita ganti semua dengan kasih sayang dan rasa persaudaraan.
PUASA DAN PRODUKTIVITAS KERJA DI KPU SIDOARJO
Jumat, 24 Juni 2016Oleh : Miftakul Rohmah, S.Ag., M.Pd ; Anggota KPU Kabupaten SidoarjoBeberapa hari yang lalu secara tidak sengaja membaca sebuah berita di salah satu media online tentang kekaguman Paul Grigson, seorang Dubes Australia yang beragama katholik, terhadap umat Islam atas kemampuannya menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Bahkan saking kagumnya terhadap umat Islam, Dubes Australia menjadwalkan akan mengadakan acara buka puasa 8x dalam bulan Ramadhan ini. “Berpuasa jelas sangat menantang. Untuk beberapa hari pertama, saya rasa saya sangup-sangup saja, tetapi minggu kedua, ketiga dan berikutnya, waah. Karena itu saya sangat salut terhadap umat islam, mereka kuat,“ pujinya.Maka sesungguhnya pernyataan Paul Grigson tersebut, menjadi hal yang wajar karena dirinya seorang katolik, tapi sesungguhnya bagi umat Islam tidak hanya menunjukkan kemampuan kita berpuasa sebulan penuh, tapi juga harus mampu meningkatkan produktivitas kita bekerja. Puasa tidak boleh dijadikan alasan untuk malas-malasan dan tidur-tiduran. Bukankah dengan bermalas-malasan dan tidur-tiduran pada saat puasa malah justru menjadikan kita lemas dan merasa tidak kuat menjalankan puasa.Bila kita menengok ke zaman Rasulullah, maka akan kita jumpai banyak sekali kejadian- kejadian yang menunjukan etos kerja yang luar biasa dari umat Islam. Bukankan perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Perang Badar merupakan suatu peristiwa yang luar biasa dalam sejarah Islam. Perang yang tidak sebanding dari segi jumlah, antara umat Islam dan kaum Qurais, yakni antara 300 orang kaum muslim melawan hampir 1000 orang kafir Qurais. Belum lagi kondisi padang pasir yang begitu panasnya, paling tidak menguras tenaga dan menimbulkan dahaga yang luar biasa, tetapi umat Islam mampu memenangkan peperangan dengan gemilang dan bukankah kemerdakaan bangsa kita yang kita peroleh dengan perjuangan fisik juga kita dapatkan bertepatan di bulan Ramadhan.Dalam kajian sosiologi akan keterkaitan antara ibadah seseorang dengan spirit dalam meraih keberhasilan dalam kehidupan, Puasa -begitu juga ibadah yang lain- justru pendorong bagi umat yang menyakininya. Korelasi tersebut muncul karena keyakinan mendalam para pemeluk agama dalam menjalankan kehidupan sesuai dengan tuntunan agamanya. Ada beberapa alasan kenapa berpuasa meningkatkan etos kerja :Pertama, ibadah-ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan berbeda ganjarannya dengan ibadah yang dilakukan di luar bulan Ramadhan artinya bahwa pada bulan Ramadhan, setiap kewajiban amalnya dikalikan 70. Ibadah sunnahnya dinilai sama dengan ibadah wajib, dan ibadah wajibnya dikalikan 70, sebagaimana hadist Rasulullah SAW : Barangsiapa yang bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) di dalam bulan Ramadhan dengan satu bentuk kebaikan, maka samalah dengan orang yang mengerjakan satu fardhu (kewajiban) di bulan lainnya. Dan siapa yang mengerjakan satu fardhu di bulan Ramadhan, maka samalah dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan lainnya. (Ibnu Khuzaimah).kedua, dari segi kesehatan, sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa pada saat kita berpuasa, ada proses detoksifikasi di dalam tubuh yang efeknya membangun ketahanan tubuh sehingga tubuh menjadi lebih sehat. Selain terbukti menyehatkan, puasa juga membuat pikiran menjadi lebih tenang dan juga melambat. Uniknya, menurut penelitian ternyata pikiran yang melambat ini membuatnya justru bekerja lebih tajam. Selain itu ditinjau dari segi insting, masalah rasa lapar adalah masalah kelanjutan hidup sehingga wajar jika rasa lapar memaksa kita untuk berpikiran lebih tajam dan kreatif. Hal ini juga dibuktikan dengan suatu kasus pada sekelompok mahasiswa di University of Chicago yang diminta berpuasa selama tujuh hari. Selama masa itu, terbukti bahwa kewaspadaan mental mereka meningkat dan progres mereka dalam berbagai penugasan kampus mendapat nilai “REMARKABLE.”ketiga, ketika kita berpuasa, waktu bekerja menjadi lebih panjang karena tidak tergangu dengan aktivitas untuk makan dan minum, yang pada gilirannya akan secara otomatis membantu kita untuk bisa mengoptimalkan waktu yang ada untuk bekerja. Memang pada hakikatnya bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat kewajiban puasa, bukan berarti membuat umat Islam menjadi lemah dan lesu dalam bekerja, bahkan bermalas-malasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun sejatinya, pada saat bulan Ramadhan tiba umat Islam diarahkan untuk meningkatkan amal ibadah dan taqarrub kepada Allah, dan mencari nafkah juga bagian dari ibadah serta sarana bertaqarrub kepada Allah. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda : Sesungguhnya, meskipun engkau memberikan nafkah kepada keluargamu sendiri, engkau tetap memperoleh pahala, sampai sekerat makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu. (Bukhari)Spirit puasa itulah yang ingin dibangun di KPU Kabupaten Sidoarjo. Ibadah puasa tidak menghalangi untuk melakukan kegiatan yang menguras tenaga. Sebagai contoh, saat ini KPU Kabupaten Sidoarjo tengah sibuk melakukan kegiatan penataan dan pengelolaan arsip/dokumen yang dimiliki mulai dari Tahun 2004 sampai dengan 2015. Meskipun kegiatan tersebut sudah barang tentu membutuhkan tenaga ekstra, karena kami harus membongkar, memilah, mengklasifikasikan dan menata arsip dari tahun 2004 sampai dengan 2015. Namun hal ini tidak menghalangi kami untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Kami menyakini, sesungguhnya peningkatan produktivitas kerja yang terjadi pada bulan Ramadhan ini akan menjadi ujian awal untuk menguji etos kerja seseorang atau lembaga pada bulan-bulan selanjutnya. Jika etos kerja meningkat di bulan Ramadhan, maka sudah bisa dipastikan secara alamiah bahwa produktivitas kerjanya juga akan terus meningkat pada bulan-bulan setelah Ramadhan. Semoga.
Revisi Undang-Undang Pilkada, Ikhtiar Perbaikan Demokrasi di Indonesia
Senin, 20 Juni 2016 Oleh : Miftakul Rohmah, S.Ag., M.PdAnggota KPU Kabupaten SidoarjoRabu, 2 Juni 2016 merupakan hari yang tidak terlupakan dalam sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Setelah mengalami beberapa kali penundaan, DPR akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai Undang-Undang baru yang menggantikan Undang-Undang Pilkada sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.Alasan dibalik munculnya revisi Undang-Undang Pilkada ini sendiri sebelumnya telah mengundang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Hal ini mengingat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ini sendiri baru berjalan 1 tahun dan baru diterapkan untuk satu kali Pemilihan. Jika diibaratkan, Ia ibarat balita yang baru belajar berjalan. Tentu pemerintah dan DPR punya argumentasi sendiri sehingga kemudian bersepakat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut.Revisi Undang-Undang Pilkada ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kelemahan implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut di lapangan, diantaranya ; Pertama, adalah terkait kampaye dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Undang- Undang ini mengamanatkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk memfasilitasi kampaye yang kemudian secara teknis diatur di Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015. Fasilitasi kampaye yang dilakukan oleh KPU secara teknis ini ternyata dalam implementasinya sangat tidak efektif di lapangan. Ada beberapa hal yang menjadi hambatan, contohnya adalah implementasi pemasangan alat peraga kampaye, yang teryata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak dinamika yang terjadi di lapangan mulai dari pemasangan yang asal-asalan oleh pihak rekanan, maupun alat peraga yang hilang ataupun rusak. Seyogyanya menjadi hal yang biasa tetapi tentu menjadi sangat rawan ketika hal ini secara teknis dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, banyak tuduhan dan tudingan yang dialamatkan kepada KPU Kabupaten/Kota, mulai dari tudingan keberpihakan KPU Kabupaten/Kota pada salah satu pasangan calon akibat dari hilangnya salah satu spanduk atau baliho yang pada akhirnya berimplikasi pada dilaporkannya komisioner KPU Kabupaten/Kota ke DKPP.Baru beberapa jam disahkan, revisi ini menjadikan pro dan kontra di masyarakat padahal Undang- Undang ini sendiri sampai saat ini belum ditandatangani oleh Menkumham. Contohnya gugatan yang dilayangkan oleh teman Ahok beserta sejumlah gerakanpendukung lainnya. Dari beberapa point revisi Undang–Undang Pilkada yang menjadi kontroversi di antaranya:Pertama, mengenai Tugas dan Wewenang KPU. Pada Pasal 9 huruf a, disebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang KPU adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan Pedoman Teknis Pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR yang keputusannya bersifat mengikat. Hal ini dinilai sangat mengebiri kewenangan lembaga penyelenggara pemilu tersebut, karena tidak pernah terjadi dalam sejarah ketika sebuah lembaga akan membuat peraturan yang mengatur rumah tangganya sendiri harus diikat oleh lembaga lain, hal ini tentu menjadi kekawatiran bahwa nantinya produk peraturan yang di hasilkan oleh KPU sarat dengan kepentingan lembaga lain, sehingga pada akhirnya KPU tidak akan lagi menjadi sebuah lembaga yang mandiri. Hal ini juga bertentangan dengan asas Penyelengara Pemilu sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nmor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pada Bab 11 Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, efesiensi dan efektif”.Kedua, revisi Undang-Undang Pilkada pada Pasal 63 huruf b menyebutkan bahwa kampaye dalam bentuk penyebaran Bahan Kampaye kepada umum dan Alat Peraga Kampaye dapat didanai dan dilaksanakan oleh partai politik dan atau pasangan calon. Apakah pasal ini berarti bisa dimaknai KPU sebagai penyelenggara tetap berkewajiban mendanai pembuatan Bahan Kampaye dan pemasangan Alat Peraga Kampaye, tapi disisi lain paslon dan parpol juga boleh membuat dan memasang APK. Kalau hal ini terjadi, tentu keluar dari filosofi dan spirit mengapa kampanye didanai oleh Negara, tujuan dari pendanaan kampaye oleh Negara adalah dalam rangka ada kesamaan kampaye bagi seluruh calon baik calon yang kaya maupun calon yang tidak punya modal, sehingga ketika undang-undang sudah keluar dari spirit, maka undang-undang tersebut patut untuk dikritisi.Ketiga, Verifikasi Calon Perseorangan. Dalam revisi Undang-Undang Pilkada terbaru, diputuskan bahwa jangka waktu pelaksanaan verifikasi faktual dengan model sensus untuk dukungan pasangan calon dibatasi maksimal 14 hari kerja. Hal ini dipandang sangat memberatkan baik itu dari penyelenggara pemilu, di sisi lain calon juga merasa sangat dirugikan dengan batasan waktu yang sangat singkat, hal ini dikarenakan jika dalam jangka waktu 14 hari para pendukung calon tidak ditemui, maka calon diberikan waktu selama 3 hari untuk mmengumpulkan pendukung dan jika tidak mampu dilaksanakan maka dianggap tidak memenuhui syarat. Keempat, terkait dukungan terhadap Pasangan Calon Perseorangan, di mana salah satunya mensyaratkan bahwa yang berhak memberikan dukungan adalah Warga Negara Indonesia yang sudah terdaftar dalam DPT Pemilu sebelumnya. Sebagai konsekuensinya, maka Warga yang baru berusia 17 Tahun (Pemilih Pemula) secara otomatis belum dapat memberikan dukungannya bagi Pasangan Calon Perseorangan, mengingat bahwa mereka yang masuk kategori Pemilih Pemula belum terdaftar dalam DPT Pemilu sebelumnya. Hal ini tentu saja merugikan bagi Pasangan Calon Perseorangan.Terlepas dari pro dan kontra dari masyarakat, tentu kita semua memahami bahwa Undang-Undang Pemilihan bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah, dan Pemerintah dan DPR juga punya hak untuk melakukan perubahan tersebut, hanya harapan masyarakat bahwa setiap kali ada perubahan maupun regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah didasari oleh kepentingan bangsa dan bukan kepentingan sesaat ataupun Golongan, yang pada akirnya membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia, dan khususnya bagi perbaikan dan perkembangan demokrasi di Indonesia, dan apakah kemudian revisi Undang-Undang Pilkada ini akan membawa perbaikan demokrasi di Indonesia, biarlah waktu yang akan menjawabnya.TabelPoin penting Perubahan Undang-Undang Pemilihan Tahun 2016 NO PASAL POIN PERUBAHAN UU NO 8 TAHUN 2015 1 Pasal 7 tentang pencalonan huruf s dan huruf t: Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD dan sebagai anggota TNI, Kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon. sejak mendaftarkan diri sebagai calon 2 Pasal 9 tugas dan wewenang KPU poin a. Menyusun dan menetapkan PKPU dan pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR yang keputusannya mengikat. berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah tanpa keputusan yang mengikat. 3 Pasal 10 ayat b1: KPU melaksanakan dengan segera rekomondasi dan atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administratif pemilihan. Tidak ada 4 Pasal 16 ayat 1a: Seleksi anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK. Tidak ada 5 Pasal 19 ayat 1a: Seleksi anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS. Tidak ada 6 Pasal 21 ayat 1a: Seleksi anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS. Tidak ada 7 Pasal 22B tentang tugas dan wewenang Bawaslu ditambah Poin 1a: Menerima, memeriksa, dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait pemilihan Cagub Cawagub, Cabup Cawabup, dan Cawali dan Cawawali yang diajukan pasangan calon dan atau Parpol/gabungan Parpol terkait dengan penjatuhan sanksi diskualifikasi dan atau tidak diizinkannya Parpol dan gabungan Parpol untuk mengusung calon dalam pemilihan berikutnya. Tidak ada 8 Pasal 41 ayat 1 dan ayat 2: Calon perseorangan mendaftarkan diri dengan menyerahkan dukungan dengan prosentase dari data pemilih pemilu paling akhir sebelumnya. Dari jumlah penduduk 9 Pasal 41 ayat 3: Dukungan yang di maksud dibuat dan disertai dengan fotokopi KTP Elektronik dan surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah yang menyelenggarakan pemilihan paling singkat 1 tahun dan tercantum dalam DPT pemilu sebelumnya di provinsi atau kabupaten kota dimaksud. Tanpa disertai surat keterangan yang diterbitkan oleh dispenduk dan capil 10 Pasal 42 (tentang pendaftaran Paslon dari Parpol) poin 4a: Dalam hal pendaftaran Paslon sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ( pilgub) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Parpol tingkat provinsi, pendaftaran Paslon yang telah disetujui Parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh Parpol tingkat pusat. Tidak ada 11 Pasal 42 (tentang pendaftaran paslon dari Parpol) poin 5a: Dalam hal pendaftaran Paslon sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (pilbup/pilwali) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Parpol tingkat kabupaten/kota, pendaftaran Paslon yang telah disetujui Parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh Parpol tingkat pusat. Tidak ada 12 Pasal 57 ayat (2) Dalam hal WNI tidak terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud di ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukan KTP Elektronik. menunjukan KTP Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan 13 Pasal 58 ayat (1) Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data pemilih dengan mempertimbangkan DP4. DP4 sebagai bahan penyusunan daftar pemilih 14 Pasal 61 Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan KTP Elektronik di TPS yang ada di RT RW yang tertera di KTP Elektronik yang bersangkutan. Dengan menunjukan KTP Elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan 15 Pasal 63 tentang kampaye ayat 2a: Kampaye dalam bentuk pertemuan terbatas dan tatap muka didanai oleh Parpol dan atau Paslon. Tidak ada 16 Pasal 63 ayat 2b: Kampaye dalam bentuk penyebaran bahan kampaye kapada umum dan alat peraga kampaye dapat didanai oleh Paslon dan atau Parpol. Tidak ada 17 Pasal 73 ayat 1 dan 2: Calon dan atau tim kampaye dilarang menjanjikan dan atau memberi uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut berdasarkan putusan Bawaslu dikenakan sanksi pembatalan paslon oleh KPU Provinsi/KPU Kabupaten kota. Hanya ditujukan untuk mempengaruhi pemilih Berdasarkan putusan pengadilan 18 Pasal 74 ditambah ayat a1 menjadi: Dana kampaye paslon dapat diperoleh dari sumbangan: Parpol/gabungan Parpol, sumbangan Paslon, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat meliputi sumbangan perseorangan dan atau badan hukum swasta. Tanpa sumbangan Paslon 19 Pasal 74 ayat 5: Sumbangan dari perseorangan paling banyak Rp. 75.000.000 dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp. 750.000.000. Sumbangan dari perseorangan paling banyak Rp. 50.000.000 dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp. 500.000.000 20 Pasal 144: Putusan Bawaslu dan putusan Panwaslu bersifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota paling lambat 3 hari kerja. Tanpa wajib ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota paling lambat 3 hari kerja. 21 Pasal 201 ayat 7 Penetapan waktu Pilkada serentak Tahun 2024 Tahun 2027
Populer
Belum ada data.