Jumat, 10 Januari 2014Jakarta, KPU, go, id—Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah melakukan suatu perubahan besar dalam pengelolaan data pemilih untuk Pemilu 2014. Data pemilih pada Pemilu sebelum-sebelumnya tidak pernah terkonsolidasi secara nasional by name by addres, kini terdokumentasi dengan baik dan dapat diakses oleh publik secara luas. “Dulu kita hanya memiliki data agregat pemilih. Data yang sifatnya by name by addres, kita tidak punya. Itulah yang menjadi salah satu cita-cita besar kita, memiliki data pemilih yang terkonsolidasi secara nasional dan dapat diakses publik. Karena itu, dalam pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih kita bekerja dengan sistem informasi,” terang Komisioner KPU RI Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam diskusi DPT di redaksi Republika, Kamis (9/1). Sistem informasi data pemilih (Sidalih) yang dibangun KPU, kata Ferry, menjadi alat kontrol terhadap potensi data ganda, fiktif, anomali, meninggal, pindah alamat, berusia di bawah 17 tahun dan belum menikah, berstatus TNI/POLRI dan lain sebagainya. “Kita juga dapat melakukan perbaikan data secara sistematis terhadap berbagai problem data yang muncul,” terang Ferry.Sidalih, kata Ferry, sekaligus menjadi alat kontrol terhadap kinerja penyelenggara dalam pemutakhiran data pemilih. “Sistem bekerja secara online. Kita dapat memantau pergerakan data setiap hari, termasuk perbaikan data-data yang invalid. Ini tidak pernah terjadi pada Pemilu sebelum-sebelumnya. Jangankan untuk mendeteksi berbagai problem data, untuk mengumpulkan data itu saja belum pernah dilakukan,” bebernya. Salah satu bukti bahwa Sidalih dapat berfungsi dengan baik, ungkap Ferry, dapat dilihat dari hasil pembacaan Sidalih terhadap Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tanggal 7 Februari 2013. Dari 190.463.184 DP4 yang diserahkan Kemendagri, Sidalih mendeteksi ada 3228 pemilih dengan NIK yang sama, 77 ribu pemilih dengan tanggal lahir yang invalid, 77 ribu pemilih yang belum berusia 17 tahun tanpa diketahui statusnya apakah sudah menikah atau belum. Selain itu, sambung Ferry, Sidalih mendeteksi 40 juta pemilih yang tidak memiliki informasi rukun tetangga (RT) dan 50 juta pemilih yang tidak memiliki informasi rukun warga (RW). Kemudian ratusan kode wilayah desa/kelurahan dan kecamatan yang belum sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. “Padahal informasi RT dan RW itu penting bagi KPU untuk pengelompokan dan distribusi pemilih ke dalam tempat pemungutan suara (TPS),” ujarnya.Adanya tudingan sejumlah pihak bahwa KPU tidak menggunakan DP4 sebagai basis pemutakhiran data Pemilih jelas sangat tidak berdasar. Justru KPU menerima DP4 itu dalam dua tahap yakni tanggal 7 Februari 2013 dan 28 Maret 2013. “Seharusnya DP4 diserahkan dalam satu tahap. Ini juga menunjukkan bahwa DP4 itu tidak sempurna, masih ada problem di hulunya. Itulah yang kemudian diverifikasi secara faktual ke lapangan,” ujarnya.Dalam tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih sesuai amanat pasal 32 ayat 4 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) dari pemerintah seharusnya disinkronisasikan bersama KPU paling lama 2 bulan. Data yang disinkronisasikan itulah yang seharusnya menjadi DP4.“Tetapi sinkronisasi itu tidak pernah dilakukan. Pemerintah beralasan DAK2 itu bentuknya agregat. Bahkan kita pernah minta data penduduk dari usia 0 tahun sampai yang paling tua untuk kebutuhan sinkronisasi itu tetapi datanya tidak tersedia,” ujarnya.Adanya data bermasalah yang terdeteksi oleh Sidalih terkonfirmasi di lapangan saat petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) melakukan verifikasi faktual di lapangan. “Memang ditemukan ada nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak standar. Salah satu contoh 4 digit terakhir NIK dalam KTP elektronik angka nol. Ini penomoran NIK yang tidak standar tetapi tetap tercetak dalam e-KTP penduduk. Ini bukan kesalahan input data dari petugas di lapangan tetapi faktualnya memang begitu,” ujar Ferry. Kemudian NIK dengan digit kurang dari 16 juga terkonfirmasi di lapangan. NIK semacam itu, lanjut Ferry, umumnya didapati pada KTP yang belum berbasis elektronik. ”NIK-nya hanya 15 digit, berbeda dengan NIK e-KTP yang 16 digit. Data itulah yang kemudian diinput petugas karena memang faktanya demikian,” ujar Ferry. KPU kata Ferry sangat yakin dengan hasil kerja pemutakhiran data pemilih yang telah dilakukan oleh Pantarlih sejak 1 April 2013 sampai ditetapkannya rekapitulasi DPT secara nasional pada tanggal 4 November 2013 dan penyempurnaannya pada 4 Desember 2013. Data hasil kerja petugas di lapangan itu dapat dipertanggungjawabkan.“Jika penduduk yang ditemui petugas di lapangan tidak memiliki dokumen kependudukan, tetapi memenuhi syarat untuk memilih, maka kami mintakan surat pernyataan dari warga tersebut dan pemerintah desa setempat yang menyatakan bahwa mereka benar warga setempat dan memiliki hak pilih,” ujarnya. (*)