Jumat, 22 Agustus 2014kpud-sidoarjokab.go.id- Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden tahun 2014 yang diajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (21/8/2014) malam. Sidang tersebut dimulai pada pukul 14.30 WIB, sementara putusan dibacakan pada pukul 20.45 WIB.Dalam permohonannya, tim kuasa hukum Prabowo-Hatta menerangkan pendapatnya bahwa penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres 2014 tidak sah menurut hukum. Alasannya, perolehan suara pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau disertai dengan tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU.Dalam perbaikan permohonan setebal 197 halaman yang diserahkan pada Kamis (7/8/2014) siang, tim kuasa hukum Prabowo-Hatta mendalilkan bahwa Pilpres 2014 cacat hukum dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah perbedaan jumlah nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014.Selain itu, Prabowo-Hatta juga menduga bahwa KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20; serta Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan batal dan tidak sah terhadap keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang menetapkan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.Selanjutnya, Prabowo-Hatta juga meminta MK menyatakan bahwa perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara, dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.Dalam persidangan, tim kuasa hukum Prabowo-Hatta berusaha menghadirkan saksi fakta untuk membuktikan adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif di sejumlah daerah di Indonesia. Kecurangan tersebut berkaitan dengan jumlah daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) yang dianggap inkonstitusional, adanya pemilih ganda, dan gagalnya KPU menyelenggarakan pemungutan suara di sejumlah titik di Papua.Meski demikian, tim kuasa hukum KPU berusaha menepis tudingan itu dengan menghadirkan saksi yang domisilinya disesuaikan dengan keterangan saksi Prabowo-Hatta. Sementara itu, tim kuasa hukum Jokowi-JK menghadirkan saksi yang memperkuat argumentasi KPU.Persidangan berlangsung pada 6-21 Agustus 2014. Sebelum memutuskan, majelis hakim konstitusi telah memeriksa puluhan saksi dan belasan ahli yang dihadirkan semua pihak, pemeriksaan alat bukti, serta menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) secara tertutup.KPU sebagai pihak termohon termasuk KPU kabupaten/kota telah menyampaikan alat bukti antara lain berupa dokumen berita acara hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan (form D.A), tingkat kabupaten (D.B), sertifikat hasil penghitungan suara di TPS (C-1) serta dokumen format model A.3 PPWP (DPT), Model A.4 PPWP (DPTb), model A.Khusus PPWP (DPK) dan model C-7 PPWP seluruhTPS.Beberapa poin penting dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagai berikut:1. Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai Legal Standing Pasangan Prabowo-Hatta yang sempat diasumsikan Pihak Terkait (kubu Jokowi-JK) telah mengundurkan diri dari Pilpres 2014 sesuai dengan pernyataan yang bersangkutan di Media Elektronik, maka menurut Mahkamah Konstitusi hal tersebut tidak terbukti. Pasangan Prabowo-Hatta menurut Mahkamah Konstitusi hanya terbukti mengundurkan diri pada saat Rekapitulasi Perhitungan Suara Nasional di KPU sehingga Pasangan Prabowo-Hatta tetap merupakan peserta Pilpres 2014 sehingga berhak untuk melakukan Gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi.2. Berkaitan dengan Pembukaan Kotak Suara yang dilakukan oleh Pihak KPU, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pembukaan Kotak Suara yang dilakukan KPU tidak dapat disebut melanggar hukum. KPU dinilai Mahkamah sudah melakukan prosedur standar Pembukaan Kotak Suara dengan menghadirkan Saksi-saksi dari kedua Pasangan Calon, Pihak Bawaslu, Pihak Kepolisian dan membuat Berita AcaraPembukaan Kotak Suara. Meskipun demikian untuk di masa mendatang perihal mengenai Pembukaan Kotak Suara oleh KPU menurut Mahkamah Konstitusi harus diatur oleh Undang-undang ataupun peraturan yang lebih memfasilitasi KPU. Mahkamah Konstitusi sendiri hanya menilai perihal ini berdasarkan prinsip melawan hukum atau tidak melawan hukum, sementara dalam hal Etika, KPU melakukan hal tersebut dapat dilakukan gugatan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).3. Mengenai Gugatan Pemohon yang berkaitan dengan Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara yang menurut Pemohon seharusnya pasangan Prabowo-Hatta memperoleh suara lebih unggul dari pasangan Jokowi-JK menurut Mahkamah Konstitusi hal tersebut tidak terbukti. Pemohon yang menyatakan dalam gugatannya bahwa telah terjadi Penggelembungan Suara untuk Jokowi-JK sebesar 1,5 juta suara dan Pengurangan suara Prabowo-Hatta sebesar 1,2 juta suara, tidak dapat dibuktikan sama sekali oleh pemohon. Pemohon tidak melengkapi hal tersebut dengan perhitungan-perhitungan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Sebaliknya dari pihak Termohon (KPU) terbukti dapat mempertanggung-jawabkan Hasil Rekapitulasi Nasional Perihtungan Suara Pilpres 2014 dengan seluruh bukti yang mendukung yang disertakan dalam pembelaannya. Mahkamah Konstitusi menetapkan Rekapitulasi Perhitungan suara yang berlaku adalah yang telah dilakukan Oleh Komisi Pemilihan Umum.4. Terkait Kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Massif yang terkait Sistim Noken yang digunakan di beberapa daerah di Papua, Mahkamah Konstitusi menimbang dari beberapa Pilkada-pilkada yang telah dilakukan sebelumnya maupun Pemilu-pemilu Legislatif sebelumnya di beberapa tempat tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Sistim Noken dapat dianggap konstitusional karena hal tersebut merupakan Hak-hak Tradisional dan Budaya setempat dimana juga dalam beberapa undang-undang yang ada terdapat Prinsip bahwa Negara menghargai kekhususan budaya di daerah-daerah tertentu dengan alasan bila dilakukan perubahan untuk hal tersebut dapat menimbulkan gejolak di masyarakat di daerah yang dimaksud. Untuk Pilpres 2014 ini Mahkamah Konstitusi sudah menimbang bahwa memang terjadi di beberapa kecamatan Suara 100% untuk Pasangan Calon nomor 2, tetapi terjadi juga sebaliknya perolehan suara 100% untuk Pasangan Calon nomor 1, dan itu terjadi juga pada Pilkada-pilkada sebelumnya didaerah-daerah tersebut. Oleh karena hal tersebut, maka Sistim Noken yang dilakukan pada Pilpres 2014 ini Mahkamah Konstitusi menetapkan hal tersebut dianggap Konstitusional dan bukan termasuk dalam Kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Massif.5. Mengenai DPKTb, Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa DPKTb memang tidak terdapat pada UU No. 42 tahun 2008 (Undang-undang Pilpres) akan tetapi DPKTb yang sudah merupakan Peraturan KPU yang berlaku sejak tahun 2009 hingga sampai saat ini belum pernah dicabut oleh KPU dan belum pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga penggunaan DPKTb dapat dikatakan tidak berlawanan dengan hukum maupun Undang-undang yang ada. Berkaitan dengan hal DPKTb ini, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dan mengakui bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai saat ini memang masih merupakan kekurangan dari Administrasi Kependudukan yang terkait dengan beberapa lembaga diluar KPU.Dengan hal tersebut maka keberadaan DPKTb sebenarnya merupakan solusi untuk menjamin Hak Fundamental warganegara dalam menyalurkan hak Konstitusionalnya. Inilah yang membuat keberadaan DPKTb diperlukan dan merupakan wewenang KPU untuk mengatur hal tersebut. Khusus terkait tuduhan penggelembungan suara yang menguntungkan pihak Jokowi-JK melalui pelanggaran DPKTb secara massif di beberapa kecamatan di Kabupaten Sidoarjo (Tulangan, Waru, Taman, Sukodono), sebagaimana juga yang dituduhkan telah terjadi di 5 Kabupaten/Kota lain di Jawa Timur, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tuduhan tersebut TIDAK TERBUKTI dan TIDAK BERALASAN MENURUT HUKUM. (Set-Red, dari berbagai sumber)